Minggu, 21 Desember 2008

Rupiah didunia internasional? kemana martabat bangsa Indonesia?





Ini ada tulisan Ustad Yusuf Mansyur. Simple tapi dalem.
Mudah2an bermanfaat.

Apakah Bangsaku Tidak Lagi Diperhitungkan?
2004 saya jalan ke Brunei. Karena saya pikir dkt, saya cuma bawa 1
kantong plastik saja. Ternyata di perjalanan, bawaan saya bertambah.
Begitu masuk bandara Brunei, saya berniat membli tas. saya tawarlah 1
tas di 1 toko. Setelah dikurskan ke rupiah, angkanya jd 4,2jt. saya
terbelalak, dan setengah bercanda saya bilang bahwa di Indonesia, tas
kayak gini palingan 300-400rb atau paling mahal 1jt dah. Eh, si penjaga
toko memasang muka merendahkan gitu, dan bilang: "No no no... Bukan tas
kami yang mahal, tapi you punya rupiah yang tak ada harga!".

Ya Allah, seperti ditampar rasanya muka saya. Segitunyakah rupiahku?
Segitunya kah negeriku? Mata uangnya tak ada harga. Lalu, pegimana
bangsanya? Bagaimana negerinya? Adakah martabatnya?

2008 ini entah yang keberapa kali saya mengadakan prjalanan keluar
negeri. Sudah tidak saya hitung lg saking seringnya, he he he. Nikmat
ini saya syukuri. Saya tringat, dulu saban saya dimandiin dan
dipakaikan pakaian oleh ibu saya, ibu saya hampir selalu berdoa dg doa
yang relatif sama. Ya, hampir selalu. Doanya biar saya, katanya,
gampang bulak balik ke mekkah, seperti ke pasar. Terus biar bisa
keliling dunia. Yusuf kecil saat itu, sempat pula bertanya sambil
ketawa, masa iya ke mekkah segampang ke pasar? Lagian mana mungkin sih
keliling dunia? Ibu saya menjawab, eeeehhhh... Allah Punya Kuasa. Kalo
DIA mau, gampang buat DIA mah. Nabi Muhammad aja diterbangin isra
mi'raj.

Ya itulah doa ibu saya. Alhamdulillah. Trnyata betul. Sekarang saya
alami sendiri. Pergi haji buat saya pribadi udah benar-benar gampang.
Alhamdulillah. Biar pintu pendaftaran dah ditutup, saya masih bisa
pergi dengan undangan kerajaan punya, atau dengan cara-cara yang
tahu-tahu saya udah di sana! Subhaanallaah memang. tapi saya ga aji
mumpung. Waktu ibu saya, mertua dan rombongan keluarga ga dapat nomor
haji, banyak orang dekat bilang, pake dong power ente. Ah, saya mah
malah bilang, sabar ya bu. Sabar ya wahai keluargaku. Pergi haji mah
urusan Allah. Ga usah dicari-cari. Kalo dah waktunya, ya waktunya.

Dan alhamdulillah, pergi ke luar negeri pun sekarang ini saya yang
susah payah menolak undangannya. Masya Allah. And I speak not only in
bahasa; but both in arabic and english as an international language.

Saya bersyukur dengan keadaan ini, tapi sekaligus ada yang membuat saya
menjadi tertegun. Betapa "Jakarta" dah ga dianggap. Di hampir semua
bandara internasional; baik asia, maupun non asia, nama "Jakarta" ga
ada lagi di board penunjuk waktu. Yang ada: London, Paris, New York,
dan kota-kota besar dunia. Bahkan ada nama Kuala Lumpur! Sedang
Jakarta, yang mewakili satu nama besar: Indonesia, ga ada lagi di board
tersebut.

Apa yang sedang terjadi dengan bangsa kita, kita semua tahu...

Setiap kali keluar kota dan keluar negeri, saya termasuk yang langka
punya. Ga bawa duit, dan ga bawa kartu kredit. Bukan apa-apa, sebab
biasanya saya dijemput langsung di pintu pesawat. Atau kalaupun tidak,
dijemput di setelah lolos imigrasi. Oleh para penjemput di kota-kota
atau negeri-negeri orang, saya sudah ditanggung beres. Jadi, uang yang
saya bawa, benar-benar ga laku, he he he. Pengertian ga laku ini, hanya
untuk menunjukkan ga terpakai. Sebab kalaupun saya bawa dollar,
mereka-mereka menahan saya untuk bayar. Mereka saja yang berkhidmat.

Hingga satu waktu, saya jalan ke Singapore untuk keperluan pribadi.
Berangkatlah saya sendiri, sebagaimana biasanya. Ya, saya senang
berangkat sendirian. Sebab simple. Enteng. Ga banyak-banyak orang.
Paling banter, berdua dg istri atau anak-anak. tapi ini pun jarang. Dan
sampe di Singapore juga sendiri. Ga ada yang jemput. Sebab saya pun
tidak mmberitahu kawan-kawan di sana. Sampe di Changi saya baru ingat,
saya hanya bawa 2jt. Dan itu rupiah. Belum saya tukerin. Menjelang
keluar bandara, saya laper, pengen cari cemilan dan kopi. Bergegaslah
saya ke salah satu sudut, untuk beli yang saya maksud. Saya pikir, bisa
lah skalian nuker seperti kalo belanja di Bangkok, Thailand. Eh,
ternyata saya salah. "Indonesia?", tanya pelayan toko. Ya, saya bilang.
Indonesia. "Oh, sorry," katanya sambil muka nya ga enak gitu. "Your
money didn't accepted here". Masya Allah! Lagi-lagi kayak ditampar saya
ini. Uang rupiah ga diterima di sini.

Selanjutnya dia menunjukkan money
changer di bandara. Saya mengurungkan niat saya untuk nyemil dan ngopi.
tapi saya pura-pura mengiyakan akan menuju money changer. Dan
subhaanallaah, kekagetan saya belom selesai. Si pelayan ini masih
bersorry-sorry ria. Katanya, jagan kaget, rupiah rendah sekali katanya
nilai tukarnya. Waaah, entahlah apa yang ada di benak saya...

Bahkan pengemispun tidak menerima rupiahku! Ya, itulah yang saya alami.satir. Mirip komedi satir. Lucu, tapi getir.

Antara 2004-2005, dalam 1 lawatan ke Eropa. Saya dkk turun di
Frankfurt, German. Dari sini perjalanan ke beberapa negara di Eropa,
dimulai. Sekian waktu , sampe lah kami di Belanda. Ada salah satu kawan
di rombongan yang mmberi tahu betapa Indonesia sudah tidak ada.
"Hatta," katanya, "Di tempat pelacuran, ada pengumuman agar para
pelacur tidak menerima mata-mata uang yang ditaroh di list. Salah
satunya rupiah!". Kawan saya ini berkata geli. Saya pun ikut tertawa.
Tapi ngebatin. Ada segitunya ya.

Dari Belanda, kami pergi ke Belgia dan kemudian ke Perancis. Naik kereta super cepatnya Eropa. Enak, nyaman, dan menyenangkan. Turun di stasiun Perancis, kami dicegat oleh 1 pengemis perempuan.
Cantik menurut ukuran saya mah. Sampe saya geleng2 kepala, kenapa dia
mengemis. Kalo boleh saya bawa, mending saya bawa ke Jakarta, he he he.
Trnyata dia mengaku Bosnia punya. Maksudnya, orang Bosnia. Sdg hamil
pula. Entah bohong apa tidak. Salah satu kwn, memberinya rupiah. 200rb.
Di Indonesia, 200rb ini bukan cuma besar. Tapi sangat besar. Niscaya
kalo pengemis di tanah air diberi 200rb, akan sujud2 rasanya kpd yang
mmberi. Dia pun saat itu trsenyum. Barangkali dia merasa kwn saya itu
sdh mmberinya uang besar. Kwn saya pun senang melihat pengemis itu
senang.

Lusanya, kami langsung balik ke Amsterdam, Belanda. Naik kereta
lagi. Sampenya di stasiun, ketemu lagi dengan pengemis perempuan muda
tersebut. Kali ini wajahnya bersungut-sungut. Dari kejauhan dia melihat
kami. Begitu melihat kami, dia langsung berlari menuju kami dengan
wajah yang tiba-tiba kesal begitu. Terus, langsung menemui kawan saya
yang tempo hari ngasih. Dengan kasarnya, uang 200rb itu dipulangin.
Katanya, sambil marah, dia mengatakan, ini toilet paper! Gila, saya
bilang, uang kita disebutnya kertas toilet. Dia bercerita sambil
membuat kawan-kawan terbahak-bahak. Katanya, dia berusaha menukar uang
kita itu, tapi ga ada yang nerima. Barangkali semua kawan sama dengan
saya, di selipan tawa kami, ada satu kegetiran, segitunyakah rupiah
saya? Rupiah kita? Sampe pengemis saja ga menerimanya? Masya Allah.
Bangkitlah wahai negeriku. Bangkitlah wahai negeriku.

Hampir di setiap events internasional, perhatian kita (untuk saya
tidak mengatakan perhatian pemerintah), sangat-sangat kurang. Terbilang
lumayan sering anak-anak Indonesia berprestasi memenangkan
kompetisi-kompetisi internasional semacam olimpiade fisika, matematika,
sains, bahasa dan lain-lain. Tapi sepi benar dari pemberitaan.
Berita-berita buat bangsa kita tidak lagi ada, atau sedikit, yang
mmbuat kita sendiri bangga. Barangkali seperti tulisan saya ini, he he
he. Maaf ya. Tapi emang kenyataannya begini.

Saya pernah membaca ada seorang yang sangat pintar di negeri orang.
Tapi katanya dia ga merasa dihargai di negeri sendiri. Akhirnya hasil
penemuannya dipatenkan di negeri di mana dia belajar dan mengabdi, dan
kemudian dia mendapatkan permanen residence dari negeri tsb.

Sekelompok kawan TKI di salah satu negara tujuan TKW, mengeluhkan juga
tentang "perwakilan" mereka di negeri itu. Katanya, kita punya gedung
sekian belas lantai. Tapi nothing buat kita! Begitu katanya. Wuah,
miris juga saya dengar. Lihat terusan kalimatnya. "Sedangkan Philipina,
hanya 2 lantai, itu pun ngontrak, tapi bangsanya bangga dengan kerja
perwakilannya. Puas". Sedangkan kita, benar-benar payah. Kalau kita
lapor (maksudnya itu TKW2), kita ga diperlakukan dg ramah. Malah jadi
kayak jongos benar-benar. Mereka kemudian cerita, bangsa aslinya
sendiri, ketika mereka datang mau mengadu, mereka duluan yang menyapa:
What can I do for you...?". Ramah bener.

Yah, itu barangkali sekelumit hal-hal yang tidak menyenangkan. Tapi
saya percaya, negeri kita masih diperhitungkan di dunia ini. Benarkah?

Siapa yang tidak bangga dengan Garuda? Maskapai Penerbangan Nasional
yang menginternasional. Bangga. Sejarah Garuda demikian mengagumkan.
Hingga ketika diri ini yang bangga dengannya menerima satu kenyataan.
Kata seorang petinggi wilayah ketika saya menginap di kediamannya di
Amstelvein, Belanda, Garuda tidak lama lagi tutup. Bukannya ga boleh
terbang loh. Tapi tutup. Sebab tidak laku atau gimana lah. Ga ngerti.
Beberapa tahun setelahnya, saya dikagetkan lagi dengan berita bahwa
Garuda tidak diperkenankan melewati Eropa karena satu dua alasan.
Bahkan di wilayah saudi pun bermasalah. Entahlah apa yang sedang
terjadi. Saat tulisan ini dimuat, Garuda sudah berhasil melewati
masa-masa sulit itu. Bahkan Garuda sudah menangguk keuntungan dari yang
tadinya merugi. Dan Garuda pun menerima penghargaan internasional.
Namun, ketika ada berita bahwa Garuda tutup dan Garuda dilarang
terbang, rasanya teriris-iris hati ini. Tarbayang Garudaku yang gagah,
yang jadi perlambang negeri ini, harus "menerima perlakuan" tidak
hormat seperti itu. Terbanglah lagi Garudaku. Mengangsalah ke seluruh
penjuru dunia. Supaya dunia tahu betapa gagahnya lambang negaraku.

Saya tersenyum kecut dengan dua berita yang turun dengan rentang
waktu yang tidak berapa lama. Yaitu berita tentang petinggi kita yang
kamarnya digeledah ketika berada di negeri orang. Dan yang satunya
lagi, ketika diperiksa berlama-lama di imigrasi satu airport
internasional. Lepas dari kenapa dan bagaimananya kisah di balik dua
berita itu, bagi saya ya sekali2 memang petinggi kita kudu merasakan.
Merasakan apa? Merasakan jadi warganya. Tidak jarang kami-kami juga
diperlakukan demikian. Seenaknya saja mereka masuk kamar hotel kami dan
memeriksa kami dengan satu alasan sederhana saja: Kami harus memeriksa
Anda! Begitu saja. Ga ada penjelasan.

Di Australia, berapa kali saya harus melewati pemeriksaan yang -- hingga -- ikat pinggang saya
pun hrs ditaroh di pemeriksaan. Tas-tas saya pun hrs dibuka dan
cenderung bahasa seharusnya: diobrak-abrik. Lagi-lagi alasannya
sederhana: Kami harus memeriksa Anda. Satu yang menyakitkan, mereka
melihat wajah saya: Asia. Asia harus diperiksa. Lalu ditanyalah saya,
darimana? Saya jawab dengan gagahnya: Indonesia. Eh tanpa dinyana,
petugas membuka lembaran petunjuk, dia urut dengan jarinya, ketemu! Ya,
katanya, Indonesia harus diperiksa. Ooo, rupanya dilembar cek-list itu,
nama Indonesia masuk daftar negara yang orang-orangnya harus diperiksa.
Subhaanallaah. Geram juga saya. Nanti, kata saya, kalau saya udah jadi
Presiden, saya gituan dah dunia, he he he. Untunglah saya jauh jadi
presiden. Kalo iya, udah perang terus kali bawaannya, ha ha ha. Perang
urat syaraf. Betapa tidak, Bali saya periksa ketat seperti mereka
memeriksa kita. Kamar-kamar mereka, tak geledah di sembarang waktu. Dan
saya instruksikan supaya mata uang yang dipakai, hanya rupiah. Tak
bikin peraturan, dolar dan lain-lainnya, kecuali real barangkali karena
negeri dengan mekkah dan madinah, he he he, ga boleh masuk ke
Indonesia. Mereka sudah harus nuker di negaranya masing-masing. Bakal
dimusuhin sih, tapi biar saja. Wong presidennya kan saya, ha ha ha.
Negara juga negara saya. Kalo ga suka, ya jangan masuk negara saya.
Cuma, saya akan bikin dunia juga jadi perlu sama saya, jadi perlu sama
Indonesia. Sehingga pasti mereka akan susah payah nurut, seperti
hebatnya kita diam dan nurut diperlakukan oleh mereka!