Jumat, 31 Oktober 2008

Kursus Salon / tata rambut "Liza" Medan Sumut

setelah telusur di google ketemu deh sebuah salon khusus untuk wanita, dan sekaligus membuka akademi pendidikan salon dan khusus untuk peserta khusus wanita. Gak jauh-jauh dan gak susah pula mencapainya. tepat beberapa rumah samping toko kue bika ambon terkenal di medan yakni ZULAIKHA (toko mama nya..ada satu lagi toko anaknya yang kelola). disitu ada LIZA SALON.

aku ngikuti kursus ini sejak 2minggu sebelum lebaran idul fitri 1429H. Diantar suami dan 2 bocah ajaibku mendaftar kesana. kulihat tampilan dari luar biasa saja, karena tertutup dengan gelapnya kaca pintu seperti ray ban.

ada beberapa pilihan: paket singkat 1,5 bulan 3 juta untuk tata rambut atau rias wajah. atau paket 3 bulan untuk tata rambut atau tata rias wajah. Biayanya 3,5 juta rupiah. Peralatan diberikan dari sana. proses belajar 3jam perharinya. dari senin mpe jumat. kita bisa pilih, mau 12 - 3 sore, atau 3 sore mpe 6 sore. ini fleksibel bergantung kesiapan kita, pengajar dan model untuk praktek.kesepakatan semua pihak. pengajarnya bernama LIZA. kalian bisa buka blog dia di http://kursussalonmedan.blogspot.com/ .

dari Taman setiabudi medan , aku cukup naik kendaraan umum no. 62 bayar 3rb stop di gang yang nembus langsung depan toko bika ambon Zulaikah (tepatnya samping toko hj.Lia). jalan 1menit sampai langsung ke salon Liza.

aku ambil pilihan tata rambut saja. ku pilih yang program 3bulan , biaya 3,5juta. aku belajar siang hari.

Peralatan yang ku peroleh menjadi milik sendiri untuk praktek dengan biaya 3,5juta tersebut:
  1. 3 botol kosong untuk shampo, condisioner, dan air
  2. conditioner 2 liter
  3. hair dryer listrik
  4. hair tonic
  5. shampoo 5 liter
  6. sikat cuci rambut
  7. creame massage
  8. Sisir blow bulat 2 buah
  9. sisir jarang
  10. sisir tulang
  11. sisir jepit pelurus
  12. jepitan rambut plastik 1lusin
  13. pingkel besi (jepit besi)
  14. jepit hitam halus (hair pin)
  15. handuk kecil 1 lusin
  16. vitamin rambut
  17. baskom
  18. bandana
  19. creambath avocado refill 1 liter
  20. alat klintong listrik
  21. rol blow set
  22. 1set alat manicur pedicure
  23. creame manicure pedicure
  24. kapas
  25. kuteks 2buah
  26. penghapus kuteks
  27. sikat manicure pedicure
  28. cotton bud
  29. sikat pengkilat kuku
  30. sikat tapak kaki
  31. sabun cuci tangan untuk manicure pedicure
  32. tisu
  33. alas kain gunting rambut
  34. gunting penipis
  35. gunting rambut
  36. pisau razor penipis dan siletnya
  37. patung rambut
  38. botol semprotan air
  39. sikat pembersih rambut
  40. alas pengkriting
  41. gulungan keriting
  42. kertas keriting
  43. anti frizz
  44. cat rambut 2 kotak (hitam dan merah)
  45. mangkok dan kuas cat
  46. alas customer yang di cat rambut
  47. alas kain utnuk pengecat rambut
  48. jepitan lidi hitam
  49. obat pelurus rambut step 1 & 2
  50. sarung tangan
  51. tutup kuping
  52. topeng hairspray
  53. foam
  54. hairspray
pokoknya bunyak n buerat banget pas barang2nya dibagiin untungnya alhamdulillah suami anter jemput pas hari itu bawa mobil. beratttt n gedeeee banget koper plastik...

Nah materi kursus perminggunya adalah:

BULAN KE-1

minggu I (setiap hari nya)
  • cuci babylist
  • cuci babylist
  • cuci babylist
  • creambath babylist
  • creambath babylist
minggu II (setiap hari nya)
  • creambath babylist
  • cuci blow lurus
  • cuci blow lurus
  • cuci blow lurus
  • cuci blow bulat
minggu III (setiap hari nya)
  • cuci blow bulat
  • cuci blow bulat
  • cuci klintong
  • cuci klintong
  • cuci klintong
minggu IV (setiap hari nya)
  • Cuci blow set
  • cuci blow set
  • cuci blow set
  • pelurusan
  • pewarnaan
BULAN KE -2
Minggu I
  • Manicure Pedicure
  • Manicure Pedicure
  • Manicure Pedicure
  • Keriting bulu mata
  • keriting bulu mata
Minggu II
  • keriting bulu mata
  • keriting rambut
  • keriting rambut
  • keriting rambut
  • gunting di patung
Minggu III
  • gunting di patung
  • gunting di patung
  • gunting model asli
  • gunting model asli
  • gunting model asli
Minggu IV
  • Creambath babylist (ulang materi namun tanpa dibimbing pelatih)
  • creambath babylist
  • creambath babylist
  • cuci klintong
  • cuci klintong
BULAN KE-3
Minggu I
  • cuci klintong
  • cuci blow set
  • cuci blow set
  • cuci blow set
  • Babylist klintong+ cuci
Minggu II
  • Babylist klintong+cuci
  • Cuci babylist klintong
  • cuci babylist klintong
  • pelurusan
  • pewarnaan
  • keriting bulu mata
Minggu III
  • Manicure Pedicure
  • Manicure pedicure
  • keriting rambut
  • keriting rambut
  • gunting model
Minggu IV
  • gunting model
  • gunting model
  • gunting model
  • gunting model
  • gunting model
MODEL PRAKTEK
...nah ini jangan pernah meremehkan keberadaanya dan perannya dalam hal kursus salon... Tanpa pelatih, alat praktek,model dan ilmu keterampilan salon gak bisa mewujudkan seorang ahli kecantikan...saat berlatih keterampilan ini dibutuhkan juga model sebagai sarana belajar, gak bisa sekedar mendengar teori, melihat gambar,atau membayangkan. jemari kita, lengan, kulit kita harus bisa praktek ma kepala,rambut,kulit yang asli manusia...makanya kita perlu model...

orang2 gak mau mahkotanya alias rambut indahnya di acak-acak atau dijadikan korban untuk latihan salon yang berpotensi merusak rambut? iya loh...kalo kita gak ati2..hair dryer bisa membuat rusak rambut indah mereka karena terlalu panas, kulit kepala melepuh,kulit wajah mereka atau leher kecolek alat catok (baby list yang puanasss..)ah ..ati2 deh ma perlengkapan salon. aku ikut kursus disini membayar model..alias model bayaran. perharinya ia minta 15rb sekali praktek...enak banget kali jadi model praktek diri ku..hehe GR banget..udah ku pijat2 kepalanya, ku keramasi, etc segala materi yang ada di atas tadi..pulangnya kubayar pula..seminggu 5x datang,kali 4 minggu...kali kan lagi 3bulan..hehe nikmat dah...

emang pada susah cari model untuk praktek..rata2 mereka gak mau rusak kepala or rambutnya...tapi gak kok dengan diriku..hehe..buktinya balik2 lagi dan tetep minta jadi model praktekku mpe program selesai..(enak banget kali...di salonin...di bayar pula...)

kalo di jhonny andrean yang kutau dari para pelanggan yang mau potong rambut disana cuma bayar 6rb..karena yang motongnya siswa.dan customer gak boleh protes..aih....ya sama2 untung kali..untung2an dapat siswa pinter nyalon...siswa untung gak bayar model...yo wis...

nah gitu deh share info tentang belajar tata rambut dari tempat, alat dan materi. ini program 3 bulan, kalo program diploma yang hampir setahun belajarnya ini-ini juga cuma lebih detail tehnik dan model rambut yang dipelajarinya. kata pelatih kursusku, intinya kalo dah belajar harus usahakan terjun langsung berhadapan ma pelanggan. karena perbedaan pelanggan tersebut menjadi guru terbaik kita dalam menata dan memenuhi selera mereka..
..

cheers..moga berguna untuk kalian yang lagi browse tentang kursus salon di kota masing-masing..

Kamis, 23 Oktober 2008

Istimewanya Wanita !




« pada: 25 September 2008, 13:56:43 »

Dikasih file word dari temen..

"Kaum feminis bilang susah jadi wanita, lihat saja peraturan dibawah ini
1. Wanita auratnya lebih susah dijaga (lebih banyak)disbanding lelaki
2. Wanita perlu meminta izin dari suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tidak sebaliknya
3. Wanita saksinya (apabila menjadi saksi) kurang berbanding lelaki
4. Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki

5. Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak

6. Wanita wajib taat kepada suaminya, sementara suami tak perlu taat pada isterinya. 7. Talak terletak di tangan suami dan bukan isteri.

8. Wanita kurang dalam beribadat karena adanya masalah haid dan nifas yang tak ada pada lelaki

9. Dll.


Itu sebabnya mereka tidak henti-hentinya berpromosi untuk
"MEMERDEKAKAN WANITA ".


Pernahkah kita lihat sebaliknya (kenyataannya) ?


1. Benda yang mahal harganya akan dijaga dan dibelai serta
disimpan ditempat yang teraman dan terbaik. Sudah pasti intan tidak akan dibiar terserak bukan? Itulah bandingannya dengan seorang wanita.


2. Wanita perlu taat kepada suami, tetapi tahukah lelaki wajib taat kepada ibunya 3 kali lebih utama daripada kepada bapaknya?

3. Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki, tetapi tahukah harta itu menjadi milik pribadinya dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya, sementara apabila lelaki menerima warisan,ia perlu/wajib juga menggunakan hartanya untuk isteri dan anak-anak.


4. Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak,tetapi tahukah bahwa setiap saat dia didoakan oleh segala makhluk, malaikat dan seluruh makhluk ALLAH di muka bumi ini, dan tahukah jika ia mati karena melahirkan adalah syahid dan surga
menantinya.


5. Di akhirat kelak, seorang lelaki akan dipertanggungjawabkan terhadap 4 wanita, yaitu : Isterinya, ibunya, anak perempuannya dan saudara perempuannya. Artinya, bagi seorang wanita tanggung jawab terhadapnya ditanggung oleh 4 orang lelaki, yaitu : suaminya, ayahnya, anak lelakinya dan saudara lelakinya. 6. Seorang wanita boleh memasuki pintu syurga melalui pintu surga yang mana saja yang disukainya, cukup dengan 4 syarat saja, yaitu : shalat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, taat kepada suaminya dan menjaga kehormatannya.


7. Seorang lelaki wajib berjihad fisabilillah, sementara bagi wanita jika taat akan suaminya, serta menunaikan tanggungjawabnya kepada ALLAH, maka ia akan turut menerima pahala setara seperti pahala orang pergi berjihad fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata.
Masya ALLAH ! Demikian sayangnya ALLAH pada wanita... kan ?


Ingat firman Nya, bahwa mereka tidak akan berhenti melakukan segala upaya, sampai kita ikut / tunduk kepada cara-cara / perbuatan mereka. (emansipasi ala western)


Yakinlah, bahwa sebagai dzat yang Maha Pencipta, yang menciptakan kita, maka sudah pasti Ia yang Maha Tahu akan manusia, sehingga segala hukumnya / peraturannya, adalah YANG TERBAIK bagi manusia dibandingkan dengan segala peraturan/hukum buatan manusia."

10 Kekeliruan dalam Wacana Anti RUU Pornografi

saatnya kita bicara dan bertindak menyelamatkan generasi!!!!
LP2i Bandung-membangun generasi

Segera kirim sms dukungan pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi ke
08552102650 (Radio MQ), transkipnya akan dikirim ke DPR RI. Sebarkan
sekarang juga ya....kepada kalian sang moralis.
Selamatkan Indonesia dari Bahaya Pornografi !!!

Kirimkan pendapat anda juga berupa statemen, opini dukungan terhadap
pengesahan RUU Pornografi yang insyaallah akan diagendakan pengesahannya
pada 24 Oktober 2008.

Jangan lupa cantumkan
Nama :
Alamat domisili :
alamat email (meskipun otomatis) :
jenis kelamin :
umur :
pekerjaan :
kelompok/komunitas/ suku/paguyuban/ ormas. :

kirimkan semuanya itu melalui email: sahkan.ruupornograf i@gmail. com,

semoga kontribusi kita menjadi bagian dari solusi menyelesaikan
permasalahan pornografi di Indonesia yang merusak moral dan kepribadian
bangsa yang kita cintai.




10 Kekeliruan dalam Wacana Anti RUU Pornografi


Ditulis pada Oktober 5, 2008 oleh ade armando


Seusai Ramadhan ini, DPR akan membicarakan kembali RUU Pornografi yang
kontroversial. Ada harapan,RUU ini bisa disahkan menjadi UU sebelum akhir
tahun. Kritik terhadap draft RUU yang beredar sudah banyak terdengar.
Sebagian kritik bahkan sampai pada tahap “Hanya satu kata – Lawan!�.
Sembari mengakui bahwa RU tersebut masih mengandung beberapa hal yang
perlu diperebatkan, saya merasa salah satu persoalan yang mendasari
ketajaman kontroversi adalah adanya kekeliruan mendasar dalam
mempersepsikan dan menilai RUU ini. Saya ingin berbagi pandangan tentang
apa yang saya lihat sebagai 10 kekeliruan mendasar dalam kritik terhadap
RUU. Laporan lebih lengkap tentang RUU Pornografi ini sendiri akan dimuat
dalam Majalah Madina edisi Oktober ini.


Rangkaian kekeliruan cara pandang tersebut adalah:


1. RUU Pornografi ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk
ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara.

Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadar
masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi
dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Pornografi
diakui – bahkan oleh masyarakat akademik—sebagai hal yang berkorelasi
dengan berbagai masalah sosial.
Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu
yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu
yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang
pornografi sebagai “anak haram� yang bukan hanya mengganggu etika kaum
beradab tapi juga dipercaya membawa banyak masalah kemasyarakatan.

Saat ini pun, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa dekade
terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang pada
gilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja,
penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhan
nilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehan
perempuan. Sebagian feminis bahkan menyebut pornogafi sebagai “kejahatan
terhadap perempuan�.

Karena rangkaian masalah ini, plus pertimbangan agama, tak ada negara di
dunia ini yang membebaskan penyebaran pornografi di wilayahnya. Bentuk
pengaturannya memang tak harus dalam format UU Pornografi, namun dalam
satu dan lain cara, negara-negara paling demokratis sekali pun mengatur
soal pornografi.

Di sisi lain, argumen bahwa soal “moral� seharusnya tidak diatur negara
juga memiliki kelemahan mendasar. Deklarasi Univeral Hak-hak Asas Manusia
(ayat 29), misalnya, secara tegas menyatakan bahwa pembatasan terhadap
kebebasan berekspresi dapat dilakukan atas dasar, antara lain,
pertimbangan moral dalam masyarakat demokratis. Hal yang sama tertuang
dalam amandemen Pasal 28J UUD 1945. Dengan begitu, kalaupun RUU ini
menggunakan pendekatan moral pun sebenarnya tetap konstitusional.


2. RUU ini memiliki agenda penegakan syariah.

Tuduhan ini sulit diterima karena RUU ini jelas memberi pengakuan hukum
terhadap sejumlah bentuk pornografi. RUU ini menyatakan bahwa yang
dilarang sama sekali, hanyalah: adegan persenggamaan, ketelanjangan,
masturbasi, alat vital dan kekerasan seksual. Pornografi yang tidak
termasuk dalam lima kategori itu akan diatur oleh peraturan lebih lanjut.

Dengan kata lain, RUU ini sebenarnya justru mengikuti logika pengaturan
distribusi pornografi yang diterapkan di banyak negara Barat. Mengingat
ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada agenda
Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi tanpa
kecuali.

Dengan RUU ini, justru majalah pria dewasa seperti Popular, FHM , ME ,
Playboy ( Indonesia ) akan memperoleh kepastian hukum. Mereka diizinkan
ada, tapi pendistribusiannya akan diatur melalui peraturan lebih lanjut.

Memang benar bahwa kelompok-kelompok yang pertama berinsiatif melahirkan
RUU ini, sejak 1999, adalah kelompok-kelompok Islam. Begitu juga dalam
prosesnya, dukungan terhadap RUU ini di dalam maupun di luar parlemen,
lazimnya datang dari komunitas muslim. Dalam perkembangan terakhir, bahkan
pembelahannya nampak jelas: Konnferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan
Gereja Indonesia meminta agar RUU tidak disahkan; Majelis Ulama Indonesia
mendukung RUU.

Namun kalau dilihat isi RUU, agak sulit untuk menemukan nuansa syariah di
dalamnya. Ini yang menyebabkan Hizbut Tahrir Indonesia secara terbuka
mengeluarkan kritik terhadap RUU yang dianggap mereka sebagai membuka
jalan bagi sebagian pornografi. Bagaimanapun, HTI juga secara terbuka
menyatakan dukungan atas pengesahannya dengan alasan “lebih baik tetap
ada aturan daripada tidak ada sama sekali�.


3. RUU ini merupakan bentuk kriminalisasi perempuan.

Tuduhan ini sering diulang-ulang sebagian feminis Indonesia . Tapi, sulit
untuk menerima tuduhan ini mengingat justru yang berpotensi terkena
ancaman pidana adalah kaum lelaki. RUU ini mengancam dengan keras mereka
yang mendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki
pornografi. Mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat dan
ditujukan kepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja adalah
kaum pria.

RUU ini memang juga mengancam para model yang terlibat dalam pembuatan
pornografi. Namun ditambahkan di situ bahwa hanya mereka yang menjadi
model dengan kesadaran sendiri yang akan dikenakan hukuman. Dengan begitu,
RUU ini akan melindungi para perempuan yang misalnya menjadi “model�
porno karena ditipu, dipaksa, atau yang gambarnya diambil melalui rekaman
tersembunyi (hidden camera).

Para pejuang hak perempuan juga lazim berargumen bahwa RUU ini
membahayakan kaum perempuan karena banyak model yang terjun ke dalam
bisnis pornografi karena alasan keterhimpitan ekonomi. Sayangnya, kalau
dilihat muatan pornografi yang berkembang di Indonesia , argumen itu
nampak tidak berdasar. Para model pornografi itu tidak bisa disamakan
dengan para pekerja seks komersial kelas bawah yang tertindas. Para model
itu mengeruk keuntungan finansial yang besar dan sulit untuk membayangkan
mereka melakukannya karena keterhimpitan dalam struktur gender yang
timpang.


4. Definisi pornografi dalam RUU sangat tidak jelas.

Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: ““materi
seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai
kesusilaan dalam masyarakat�.

Para pengeritik RUU menganggap, definisi ini kabur karena penerapannya
melibatkan tafsiran subjektiif mengenai apa yang dimaksudkan dengan
“membangkitkan hasrat seksual� dan “melanggar nilai-nilai kesusilaan
dalam masyarakat�. Karena kelemahan itu, para pengeritik menganggap RUU
sebaiknya ditunda atau dibatalkan pengesahannya.

Kritik semacam ini tidak berdasar karena definisi soal pornografi yang
lazim berlaku di seluruh dunia – kurang lebih – seperti yang
dirumuskan dalam RUU itu. Ensiklopedi Encarta 2008, misalnya menulis
pornografi adalah film, majalah, tulisan, fotografi dan materi lainnya
yang eksplisit secara seksual dan bertujuan untuk membangkitkan hasrat
seksual. English Learner’s Dictionary (1986-2008) mendefinisikan
pornografi sebagai literatur, gambar film, dan sebagainya yang tidak sopan
(indecent) secara seksual.

Di banyak negara, pengaturan soal pornografi memang lazim berada dalam
wilayah multi-tafsir ini. Karena itu, pembatasan tentang pornografi bisa
berbeda-beda dari tahun ke tahun dan di berbagai daerah dengan budaya
berbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1960an, akan sulit ditemukan film AS
yang menampilkan adegan wanita bertelanjang dada, sementara pada abad 21
ini, bagian semacam itu lazim tersaji di filmfilm yang diperuntukkan pada
penonton 17 tahun ke atas. Itu terjadi karena batasan “tidak pantas�
memang terus berubah.


Soal ketidakpastian definisi ini juga sebenarnya lazim ditemukan di
berbagai UU lain. Dalam KUHP saja misalnya, definisi tegas “mencemarkan
nama baik� atau “melanggar kesusilaan� tidak ditemukan. Yang
menentukan, pada akhirnya, adalah sidang pengadilan. Ini lazim berlaku
dalam hukum mengingat ada kepercayaan pada kemampuan akal sehat manusia
untuk mendefinisikannya sesuai dengan konteks ruang dan waktu.


5. RUU ini mengancam kebhinekaan

Cara pandang keliru ini nampaknya bisa terjadi karena salah baca. Dalam
draft RUU yang dikeluarkan pada 2006, memang ada pasal-pasal yang dapat
ditafsirkan sebagai tidak menghargai keberagaman budaya. Misalnya saja,
aturan yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yang
memperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar,
baik secara keseluruhan ataupun sebagian.

Ini memang bermasalah karena itu mengkriminalkan berbagai cara berpakaian
yang lazim di berbagai daerah. Tak usah di wilayah yang dihuni masyarakat
non-muslim; di wilayah mayoritas muslim pun, seperti Jawa Barat, kebaya
dengan dada rendah adalah lazim. Hanya saja, pasal-pasal itu seharusnya
sudah tidak lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru.

Begitu juga dengan kesenian tradisional yang lazim menampilkan gerak tubuh
yang sensual, seperti jaipongan. Dalam RUU yang baru, tak ada satupun
pasal yang menyebabkan kesenian semacam itu akan dilarang. RUU ini bahkan
menambahkan klausul yang menyatakan bahwa pelarangan terhadap pornografi
kelas berat (misalnya mengandung ketelanjangan) akan dianulir kalau itu
memiliki nilai seni-budaya.

6. RUU ini akan mengatur cara berpakaian.

Sebagian pengeritik menakut-nakuti masyarakat bahwa bila RUU ini disahkan,
perempuan tak boleh lagi mengenakan rok mini atau celana pendek di luar
rumah. Ini peringatan yang menyesatkan. Tak satupun ada pasal dalam RUU
ini yang berbicara soal cara berpakaian masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari.

7.RUU ini berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat.

Para pengecam menuduh bahwa RUU ini akan membuka peluang bagi tindak
anarkisme masyarakat, mengingat adanya pasal 21 yang berbunyi:
“Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.�

Tuduhan ini agak mencari-cari, karena dalam pasal berikutnya, RUU
menyatakan bahwa “peran serta� masyarakat itu hanya terbatas pada:
melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi
peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat.
Dengan kata lain, justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap
kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alam
demokratis, peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena.

8. RUU ini tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain untuk
mengerem pornografi.

Para pengeritik lazim menganggap RUU ini sebagai tak diperlukan karena
sudah ada KUHP yang bila ditegakkan akan bisa digunakan untuk mengatur
pornografi.
Argumen ini lemah karena sejumlah hal. Pertama, KUHP melarang penyebaran
hal-hal yang melanggar kesusilaan yang definisinya jauh lebih luas
daripada pornografi. KUHP pun menyamaratakan semua bentuk pornografi..
Selama sesuatu dianggap “melanggar kesusilaan�, benda itu menjadi
barang haram yang harus dienyahkan dari Indonesia . Dengan demikian, KUHP
justru tidak membedakan antara sebuah novel yang di dalamnya mengandung
muatan seks beberapa halaman dengan film porno yang selama dua jam
menghadirkan adegan seks. Dua-duanya dianggap melanggar KUHP.

RUU ini, sebaliknya, membedakan kedua ragam pornografi itu. Media yang
menyajikan adegan pornografis kelas berat memang dilarang, tapi yang
menyajikan muatan pornografis ringan akan diatur pendistribusiannya.

Lebih jauh lagi, sebagai produk di masa awal kemerdekaan, KUHP memang
nampak ketinggalan jaman. Terhadap mereka yang membuat dan menyebarkan
hal-hal yang melanggar kesusilaan, KUHP hanya memberi ancaman pidana
penjara maksimal 18 bulan dan denda maksimal empat ribu lima ratus
rupiah! KUHP juga tidak membedakan perlakuan terhadap pornografi biasa dan
pornografi anak.


9. RUU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat.

Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karena
untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah
memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri
pornografi. Jadi yang diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan
Undang-undang.

Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun,
lazim mempercayai arti penting aturan. Bila pornografi memang dipercaya
mengandung muatan yang negatif (misalnya mendorong perilaku seks bebas,
melecehkan perempuan, mendorong kekerasan seks, dan sebagainya), maka
negara lazim diberi kewenangan untuk melindungi masyarakat dengan antara
lain mengeluarkan peraturan perundangan yang ketat.

Di Amerika Serikat, sebagai contoh sebuah negara yang demokratis, terdapat
aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori
cabul (obscene). Di sana pun, masyarakat tak diberi kewenangan untuk
menentukan sendiri apakah mereka mau atau tidak mau menonton film cabul,
karena begitu sebuah materi pornografis dianggap ‘cabul’, itu akan
langsung dianggap melanggar hukum.


Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting. Namun
membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi,
sementara gencaran rangsangan pornografi berlangsung secara bebas ditengah masyarakat, mugnkin adalah harapan berlebihan.

10. RUU ini mengancam para seniman.

Tuduhan bahwa RUU ini akan mengekang kebebasan para seniman juga
mencerminkan kemiskinan informasi para pengecam tersebut. RUU ini justru
memberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan, dengan
memasukkan pasal yang menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografi
akan dikecualikan pada karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan
budaya

Diarsipkan di bawah: Mass Media, Pornography

Isi Draft RUU PORNOGRAFI

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN

TENTANG

PORNOGRAFI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;

b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;

c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3

Pengaturan pornografi bertujuan:

a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

c. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan

d. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

BAB II

LARANGAN DAN PEMBATASAN

Pasal 4

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:

e. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

f. kekerasan seksual;

g. masturbasi atau onani;

h. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau

i. alat kelamin.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau

d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5

Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6

Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.

Pasal 7

Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9

Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11

Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

Pasal 12

Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13

(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14

Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:

a. seni dan budaya;

b. adat istiadat; dan

c. ritual tradisional.

Pasal 15

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III

PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 16

Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Pasal 17

(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

(2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV

PENCEGAHAN

Bagian Kesatu

Peran Pemerintah

Pasal 18

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah berwenang:

a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 20

Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:

a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan

d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua

Peran Serta Masyarakat

Pasal 21

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 22

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:

a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan

d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB V

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 24

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 25

Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:

a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan

b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Pasal 26

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.

(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 27

Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 28

(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.

(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.

(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

BAB VI

PEMUSNAHAN

Pasal 29

(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.

(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:

a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;

b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;

c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan

d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 30

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 31

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 34

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 35

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 36

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 37

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 38

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 39

Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 40

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang‑orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama‑sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa:

a. pembekuan izin usaha;

b. pencabutan izin usaha;

c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau

d. pencabutan status badan hukum.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 44

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

PENJELASAN

ATAS

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN

TENTANG

PORNOGRAFI

I. UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.

Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur tentang pornografi.

Pengaturan pornografi berasaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, antidiskriminatif, dan perlindungan terhadap warga negara, yang berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini:

1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;

2. menghormati dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk;

3. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan

4. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi: (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.

Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual.

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 5

Yang dimaksud dengan “mengunduh” adalah mengalihkan atau mengambil fail (file) dari sistem teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.

Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Yang dimaksud dengan “mempertontonkan diri” adalah perbuatan yang dilakukan atas inisiatif dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan dirinya.

Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.

Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.

Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.

Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.

Pasal 14

Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Huruf a

Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Pasal 20

Huruf a

Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….