Kamis, 23 Oktober 2008

10 Kekeliruan dalam Wacana Anti RUU Pornografi

saatnya kita bicara dan bertindak menyelamatkan generasi!!!!
LP2i Bandung-membangun generasi

Segera kirim sms dukungan pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi ke
08552102650 (Radio MQ), transkipnya akan dikirim ke DPR RI. Sebarkan
sekarang juga ya....kepada kalian sang moralis.
Selamatkan Indonesia dari Bahaya Pornografi !!!

Kirimkan pendapat anda juga berupa statemen, opini dukungan terhadap
pengesahan RUU Pornografi yang insyaallah akan diagendakan pengesahannya
pada 24 Oktober 2008.

Jangan lupa cantumkan
Nama :
Alamat domisili :
alamat email (meskipun otomatis) :
jenis kelamin :
umur :
pekerjaan :
kelompok/komunitas/ suku/paguyuban/ ormas. :

kirimkan semuanya itu melalui email: sahkan.ruupornograf i@gmail. com,

semoga kontribusi kita menjadi bagian dari solusi menyelesaikan
permasalahan pornografi di Indonesia yang merusak moral dan kepribadian
bangsa yang kita cintai.




10 Kekeliruan dalam Wacana Anti RUU Pornografi


Ditulis pada Oktober 5, 2008 oleh ade armando


Seusai Ramadhan ini, DPR akan membicarakan kembali RUU Pornografi yang
kontroversial. Ada harapan,RUU ini bisa disahkan menjadi UU sebelum akhir
tahun. Kritik terhadap draft RUU yang beredar sudah banyak terdengar.
Sebagian kritik bahkan sampai pada tahap “Hanya satu kata – Lawan!�.
Sembari mengakui bahwa RU tersebut masih mengandung beberapa hal yang
perlu diperebatkan, saya merasa salah satu persoalan yang mendasari
ketajaman kontroversi adalah adanya kekeliruan mendasar dalam
mempersepsikan dan menilai RUU ini. Saya ingin berbagi pandangan tentang
apa yang saya lihat sebagai 10 kekeliruan mendasar dalam kritik terhadap
RUU. Laporan lebih lengkap tentang RUU Pornografi ini sendiri akan dimuat
dalam Majalah Madina edisi Oktober ini.


Rangkaian kekeliruan cara pandang tersebut adalah:


1. RUU Pornografi ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk
ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara.

Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadar
masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi
dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Pornografi
diakui – bahkan oleh masyarakat akademik—sebagai hal yang berkorelasi
dengan berbagai masalah sosial.
Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu
yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu
yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang
pornografi sebagai “anak haram� yang bukan hanya mengganggu etika kaum
beradab tapi juga dipercaya membawa banyak masalah kemasyarakatan.

Saat ini pun, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa dekade
terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang pada
gilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja,
penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhan
nilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehan
perempuan. Sebagian feminis bahkan menyebut pornogafi sebagai “kejahatan
terhadap perempuan�.

Karena rangkaian masalah ini, plus pertimbangan agama, tak ada negara di
dunia ini yang membebaskan penyebaran pornografi di wilayahnya. Bentuk
pengaturannya memang tak harus dalam format UU Pornografi, namun dalam
satu dan lain cara, negara-negara paling demokratis sekali pun mengatur
soal pornografi.

Di sisi lain, argumen bahwa soal “moral� seharusnya tidak diatur negara
juga memiliki kelemahan mendasar. Deklarasi Univeral Hak-hak Asas Manusia
(ayat 29), misalnya, secara tegas menyatakan bahwa pembatasan terhadap
kebebasan berekspresi dapat dilakukan atas dasar, antara lain,
pertimbangan moral dalam masyarakat demokratis. Hal yang sama tertuang
dalam amandemen Pasal 28J UUD 1945. Dengan begitu, kalaupun RUU ini
menggunakan pendekatan moral pun sebenarnya tetap konstitusional.


2. RUU ini memiliki agenda penegakan syariah.

Tuduhan ini sulit diterima karena RUU ini jelas memberi pengakuan hukum
terhadap sejumlah bentuk pornografi. RUU ini menyatakan bahwa yang
dilarang sama sekali, hanyalah: adegan persenggamaan, ketelanjangan,
masturbasi, alat vital dan kekerasan seksual. Pornografi yang tidak
termasuk dalam lima kategori itu akan diatur oleh peraturan lebih lanjut.

Dengan kata lain, RUU ini sebenarnya justru mengikuti logika pengaturan
distribusi pornografi yang diterapkan di banyak negara Barat. Mengingat
ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada agenda
Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi tanpa
kecuali.

Dengan RUU ini, justru majalah pria dewasa seperti Popular, FHM , ME ,
Playboy ( Indonesia ) akan memperoleh kepastian hukum. Mereka diizinkan
ada, tapi pendistribusiannya akan diatur melalui peraturan lebih lanjut.

Memang benar bahwa kelompok-kelompok yang pertama berinsiatif melahirkan
RUU ini, sejak 1999, adalah kelompok-kelompok Islam. Begitu juga dalam
prosesnya, dukungan terhadap RUU ini di dalam maupun di luar parlemen,
lazimnya datang dari komunitas muslim. Dalam perkembangan terakhir, bahkan
pembelahannya nampak jelas: Konnferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan
Gereja Indonesia meminta agar RUU tidak disahkan; Majelis Ulama Indonesia
mendukung RUU.

Namun kalau dilihat isi RUU, agak sulit untuk menemukan nuansa syariah di
dalamnya. Ini yang menyebabkan Hizbut Tahrir Indonesia secara terbuka
mengeluarkan kritik terhadap RUU yang dianggap mereka sebagai membuka
jalan bagi sebagian pornografi. Bagaimanapun, HTI juga secara terbuka
menyatakan dukungan atas pengesahannya dengan alasan “lebih baik tetap
ada aturan daripada tidak ada sama sekali�.


3. RUU ini merupakan bentuk kriminalisasi perempuan.

Tuduhan ini sering diulang-ulang sebagian feminis Indonesia . Tapi, sulit
untuk menerima tuduhan ini mengingat justru yang berpotensi terkena
ancaman pidana adalah kaum lelaki. RUU ini mengancam dengan keras mereka
yang mendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki
pornografi. Mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat dan
ditujukan kepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja adalah
kaum pria.

RUU ini memang juga mengancam para model yang terlibat dalam pembuatan
pornografi. Namun ditambahkan di situ bahwa hanya mereka yang menjadi
model dengan kesadaran sendiri yang akan dikenakan hukuman. Dengan begitu,
RUU ini akan melindungi para perempuan yang misalnya menjadi “model�
porno karena ditipu, dipaksa, atau yang gambarnya diambil melalui rekaman
tersembunyi (hidden camera).

Para pejuang hak perempuan juga lazim berargumen bahwa RUU ini
membahayakan kaum perempuan karena banyak model yang terjun ke dalam
bisnis pornografi karena alasan keterhimpitan ekonomi. Sayangnya, kalau
dilihat muatan pornografi yang berkembang di Indonesia , argumen itu
nampak tidak berdasar. Para model pornografi itu tidak bisa disamakan
dengan para pekerja seks komersial kelas bawah yang tertindas. Para model
itu mengeruk keuntungan finansial yang besar dan sulit untuk membayangkan
mereka melakukannya karena keterhimpitan dalam struktur gender yang
timpang.


4. Definisi pornografi dalam RUU sangat tidak jelas.

Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: ““materi
seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai
kesusilaan dalam masyarakat�.

Para pengeritik RUU menganggap, definisi ini kabur karena penerapannya
melibatkan tafsiran subjektiif mengenai apa yang dimaksudkan dengan
“membangkitkan hasrat seksual� dan “melanggar nilai-nilai kesusilaan
dalam masyarakat�. Karena kelemahan itu, para pengeritik menganggap RUU
sebaiknya ditunda atau dibatalkan pengesahannya.

Kritik semacam ini tidak berdasar karena definisi soal pornografi yang
lazim berlaku di seluruh dunia – kurang lebih – seperti yang
dirumuskan dalam RUU itu. Ensiklopedi Encarta 2008, misalnya menulis
pornografi adalah film, majalah, tulisan, fotografi dan materi lainnya
yang eksplisit secara seksual dan bertujuan untuk membangkitkan hasrat
seksual. English Learner’s Dictionary (1986-2008) mendefinisikan
pornografi sebagai literatur, gambar film, dan sebagainya yang tidak sopan
(indecent) secara seksual.

Di banyak negara, pengaturan soal pornografi memang lazim berada dalam
wilayah multi-tafsir ini. Karena itu, pembatasan tentang pornografi bisa
berbeda-beda dari tahun ke tahun dan di berbagai daerah dengan budaya
berbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1960an, akan sulit ditemukan film AS
yang menampilkan adegan wanita bertelanjang dada, sementara pada abad 21
ini, bagian semacam itu lazim tersaji di filmfilm yang diperuntukkan pada
penonton 17 tahun ke atas. Itu terjadi karena batasan “tidak pantas�
memang terus berubah.


Soal ketidakpastian definisi ini juga sebenarnya lazim ditemukan di
berbagai UU lain. Dalam KUHP saja misalnya, definisi tegas “mencemarkan
nama baik� atau “melanggar kesusilaan� tidak ditemukan. Yang
menentukan, pada akhirnya, adalah sidang pengadilan. Ini lazim berlaku
dalam hukum mengingat ada kepercayaan pada kemampuan akal sehat manusia
untuk mendefinisikannya sesuai dengan konteks ruang dan waktu.


5. RUU ini mengancam kebhinekaan

Cara pandang keliru ini nampaknya bisa terjadi karena salah baca. Dalam
draft RUU yang dikeluarkan pada 2006, memang ada pasal-pasal yang dapat
ditafsirkan sebagai tidak menghargai keberagaman budaya. Misalnya saja,
aturan yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yang
memperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar,
baik secara keseluruhan ataupun sebagian.

Ini memang bermasalah karena itu mengkriminalkan berbagai cara berpakaian
yang lazim di berbagai daerah. Tak usah di wilayah yang dihuni masyarakat
non-muslim; di wilayah mayoritas muslim pun, seperti Jawa Barat, kebaya
dengan dada rendah adalah lazim. Hanya saja, pasal-pasal itu seharusnya
sudah tidak lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru.

Begitu juga dengan kesenian tradisional yang lazim menampilkan gerak tubuh
yang sensual, seperti jaipongan. Dalam RUU yang baru, tak ada satupun
pasal yang menyebabkan kesenian semacam itu akan dilarang. RUU ini bahkan
menambahkan klausul yang menyatakan bahwa pelarangan terhadap pornografi
kelas berat (misalnya mengandung ketelanjangan) akan dianulir kalau itu
memiliki nilai seni-budaya.

6. RUU ini akan mengatur cara berpakaian.

Sebagian pengeritik menakut-nakuti masyarakat bahwa bila RUU ini disahkan,
perempuan tak boleh lagi mengenakan rok mini atau celana pendek di luar
rumah. Ini peringatan yang menyesatkan. Tak satupun ada pasal dalam RUU
ini yang berbicara soal cara berpakaian masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari.

7.RUU ini berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat.

Para pengecam menuduh bahwa RUU ini akan membuka peluang bagi tindak
anarkisme masyarakat, mengingat adanya pasal 21 yang berbunyi:
“Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.�

Tuduhan ini agak mencari-cari, karena dalam pasal berikutnya, RUU
menyatakan bahwa “peran serta� masyarakat itu hanya terbatas pada:
melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi
peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat.
Dengan kata lain, justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap
kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alam
demokratis, peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena.

8. RUU ini tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain untuk
mengerem pornografi.

Para pengeritik lazim menganggap RUU ini sebagai tak diperlukan karena
sudah ada KUHP yang bila ditegakkan akan bisa digunakan untuk mengatur
pornografi.
Argumen ini lemah karena sejumlah hal. Pertama, KUHP melarang penyebaran
hal-hal yang melanggar kesusilaan yang definisinya jauh lebih luas
daripada pornografi. KUHP pun menyamaratakan semua bentuk pornografi..
Selama sesuatu dianggap “melanggar kesusilaan�, benda itu menjadi
barang haram yang harus dienyahkan dari Indonesia . Dengan demikian, KUHP
justru tidak membedakan antara sebuah novel yang di dalamnya mengandung
muatan seks beberapa halaman dengan film porno yang selama dua jam
menghadirkan adegan seks. Dua-duanya dianggap melanggar KUHP.

RUU ini, sebaliknya, membedakan kedua ragam pornografi itu. Media yang
menyajikan adegan pornografis kelas berat memang dilarang, tapi yang
menyajikan muatan pornografis ringan akan diatur pendistribusiannya.

Lebih jauh lagi, sebagai produk di masa awal kemerdekaan, KUHP memang
nampak ketinggalan jaman. Terhadap mereka yang membuat dan menyebarkan
hal-hal yang melanggar kesusilaan, KUHP hanya memberi ancaman pidana
penjara maksimal 18 bulan dan denda maksimal empat ribu lima ratus
rupiah! KUHP juga tidak membedakan perlakuan terhadap pornografi biasa dan
pornografi anak.


9. RUU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat.

Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karena
untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah
memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri
pornografi. Jadi yang diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan
Undang-undang.

Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun,
lazim mempercayai arti penting aturan. Bila pornografi memang dipercaya
mengandung muatan yang negatif (misalnya mendorong perilaku seks bebas,
melecehkan perempuan, mendorong kekerasan seks, dan sebagainya), maka
negara lazim diberi kewenangan untuk melindungi masyarakat dengan antara
lain mengeluarkan peraturan perundangan yang ketat.

Di Amerika Serikat, sebagai contoh sebuah negara yang demokratis, terdapat
aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori
cabul (obscene). Di sana pun, masyarakat tak diberi kewenangan untuk
menentukan sendiri apakah mereka mau atau tidak mau menonton film cabul,
karena begitu sebuah materi pornografis dianggap ‘cabul’, itu akan
langsung dianggap melanggar hukum.


Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting. Namun
membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi,
sementara gencaran rangsangan pornografi berlangsung secara bebas ditengah masyarakat, mugnkin adalah harapan berlebihan.

10. RUU ini mengancam para seniman.

Tuduhan bahwa RUU ini akan mengekang kebebasan para seniman juga
mencerminkan kemiskinan informasi para pengecam tersebut. RUU ini justru
memberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan, dengan
memasukkan pasal yang menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografi
akan dikecualikan pada karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan
budaya

Diarsipkan di bawah: Mass Media, Pornography

Tidak ada komentar: