Senin, 08 September 2008

Inisiasi Menyusu Dini, PERSPEKTIF EEP SAEFULLOH FATAH

seorang pengamat politik di Indonesia yang mendapat pencerahan IMD


Inisiasi Menyusu Dini

Dari titik manakah seorang pelaku politik Indonesia terbaik dibentuk? Bagi saya, jawabannya terentang dari ruang kerja Dokter Utami Roesli hingga ke ruang persalinan Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Lebih dari sekadar seorang dokter anak, Utami adalah seorang pejuang tak kenal lelah.

Ia memperjuangkan agar setiap anak beroleh hak asasinya: air susu ibu (ASI). Ia terus mempromosikan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama hidup seorang bayi, lalu dilanjutkan dengan penyediaan ASI hingga sang bayi setidaknya berusia dua tahun. Untuk itu, tentu saja ia mesti bertarung melawan produsen susu formula yang memiliki jaring laba-laba bisnis besar.

Seperti David, ia berperang melawan sang Goliath, para produsen yang dimanjakan pasar gemuk Indonesia. Dengan tawaran bisnis menggiurkan yang diajukan para produsen raksasa itu, sesungguhnya mudah dimengerti jika Dokter Utami mudah menyerah kalah. Tetapi nyatanya tidak. Sejak 1992 hingga hari ini, ia tetap berdiri di tempatnya. Ia bergeming, bersikukuh dengan perjuangannya.

Pada 19 Juni dan 31 Juli lalu, saya dan istri berkonsultasi pada Dokter Utami tentang bayi kami yang masih dalam kandungan. Untuk pertama kali kami mendengar penjelasan tentang temuan-temuan riset baru mengenai inisiasi menyusu dini (IMD) --yang menjadi tema perjuangan lain Dokter Utami sejak 30 Maret 2006.

Maka, di ruang persalinan RSPI, pada dini hari 12 Agustus 2008, selama hampir satu jam, putri kami yang baru saja lahir, Kaskaya Alessa, menjalani IMD.

Setelah dilap alakadarnya, dengan ditutup selimut pada bagian punggungnya, sang bayi ditengkurapkan di atas perut dan dada sang ibu. Setelah beberapa menit, sang bayi mulai mencium-cium telapak dan punggung tangannya sendiri. Kemudian keluarlah air liurnya.

Rupanya, bau di telapak dan punggung tangan itu mengingatkannya pada bau serupa di dalam rahim. Tak lama kemudian, sang bayi mulai merangkak naik. Perlahan tapi pasti, ia mencari dan menemukan sendiri puting susu ibunya yang baunya identik dengan bau pada punggung atau telapak tangannya itu.

Menjelang menit ke-40, putri kami menemukan puting yang dicarinya. Pada menit ke-48, ia mulai menyusu sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Dengan takjub saya menyaksikan sebuah kerja sama yang dirancang Tuhan secara dahsyat.

Berdasarkan berbagai riset, suhu perut dan dada ibu berfungsi mengelola --menurunkan atau menaikkan-- suhu tubuh bayinya yang baru lahir. Pertemuan kulit keduanya juga membentuk sistem pertahanan tubuh bayi. Gerakan bayi, terutama injakan-injakan rangkakan kakinya, membantu mengurangi perdarahan ibu serta membantu memperlancar keluarnya plasenta. Di atas segalanya, IMD memberi peluang bagi ibu, bayi, dan ayahnya untuk membangun komunikasi intens untuk saling menguatkan hubungan ketiganya.

Tak hanya itu. IMD juga memberi fondasi kuat bagi sang bayi untuk tumbuh sehat, mengurangi angka kematian bayi, memfasilitasi peningkatan kecerdasan, dan memberi fondasi kuat bagi tumbuh kembang bayi sebagai manusia unggul.

Pada titik itulah saya menemukan keterkaitan ASI, IMD, serta masa depan politik dan demokrasi kita. Dokter Utami, bagi saya, adalah seorang penggiat sosial-kemanusiaan yang berhasil keluar dari jebakan salah kaprah umum. Di tengah begitu banyak orang yang senang jalan pintas, selalu berpikir instan dan melihat segala sesuatu secara artifisial, ia bersikukuh melihat persoalan dari akarnya.

Ia mengajari kita tentang betapa percumanya membangun sesuatu manakala kita tak menopangnya dengan fondasi kuat. Betapa tak banyak gunanya mengatasi segenap hal di hilir manakala soal-soal di hulu tak kita pecahkan dulu.

Bagi Dokter Utami, Indonesia yang lebih baik hanya bisa digapai manakala kita menyiapkan sumber daya manusia terbaik dari titik yang paling dini. Dalam perspektif ini, politik dan demokrasi kita juga hanya akan mungkin terbangun dan terkuatkan secara layak manakala tersedia para pelaku terbaik demokrasi. Persiapan itu, dalam perspektif Dokter Utami, mesti dilakukan sejak seseorang menjalani detik-detik pertama sebagai umat manusia.

Maka, ASI dan IMD berpotensi ikut menjadi fondasi bagi demokrasi dengan menyiapkan manusia Indonesia unggulan. Mekanisme yang terlihat sederhana itu berperan menyelamatkan generasi terbaik untuk memajukan Indonesia di berbagai bidang.

Maka, saya sungguh girang mendengar bahwa cucu pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilahirkan melalui operasi caesar pada pukul 06.21 WIB, 17 Agustus 2008, pun menjalani IMD, difasilitasi Dokter Utami. Proses IMD putri Kapten (Inf) Agus Harimutri Yudhoyono dan Annisa Larasati Pohan itu secara simbolik menegaskan pemihakan keluarga besar presiden terhadap perjuangan pemberian hak-hak asasi anak dan penyiapan generasi unggul Indonesia.

Bapak Presiden dan keluarga, selamat!

Eep Saefulloh Fatah
Pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia
[Perspektif, Gatra Nomor 40 Beredar Kamis, 14 Agustus 2008]

Tidak ada komentar: